Selasa, 04 Mei 2010
amalan yang tak terputus
AMALAN YANG TAK TERPUTUS
Rosulullah SAW telah bersabda :
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya : “jika anak adam telah mati maka seluruh amalnya akan terputus kecuali tiga perkara : shadaqatin jariyatin, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya “. ( HR.Muslim no.1631 melalui sahabat Abu Hurairah RA )
Demikianlah karunia yang dicurahkan oleh Allah ‘Azza wa jalla kepada hamba-hambanya, berupa pahala dan kebaikan yang mengalir terus menerus tanpa terputus, meskipun pelakunya telah tiada namun pahalanya terus mengalir kepadanya.
Dalam hadits diatas Rasulullah SAW menyebutkan ada tiga amalan yang tidak akan terputus yaitu :
- Shadaqah jariyah
Yaitu seseorang yang telah menyedakahkan sebagian hartanya untuk kepentingan umat islam seperti membangun masjid, madrasah atau pondok pesantren, Islamic center dan lain lainya. Selama fasilitas tersebut masih dipakai dan dimanfaatkan untuk kepentingan islam maka selama itu pula pahalanya akan terus mengalir meskipun orangnya telah tiada.
Allah ‘Azza wa Jalla telah menghasung hamba-hamba-Nya untuk berinfaq dan bershadaqah didalam banyak ayat-ayat-Nya diantaranya QS.Al-Munafiqun : 10
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?"
Dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar segera berinfaq ketika dikaruniai rizki sebelum datang kematian sehingga tidak bisa lagi beramal ( berinfaq ), ayat diatas juga menggambarkan kepada kita tentang penyesalan seorang hamba yang belum sempat berinfaq sampai ajal menjemputnya sehingga dia mengatakan “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?"
Akan tetapi penyesalan pada waktu itu sudah tidak ada gunanya lagi karena disana tinggallah hari pembalasan.
Shadaqah adalah bukti keimanan
Rasulullah SAW bersabda : وَ الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ.........
Artinya “ dan shadaqah adalah bukti ( keimanan )”.
Iman bukanlah pengakuan semata tanpa bukti, melainkan haruslah dibuktikan dengan amal nyata, maka diantara bukti seseorang itu beriman kepada Allah adalah dengan menginfaqkan sebagian rizkinya dijalan Allah
- Ilmu yang bermanfaat
Yaitu seseorang yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang lain, maka selama ilmu itu masih diamalkan dan diajarkan terus menerus maka pahalanya pun akan tetap mengalir meskipun orangnya telah wafat. Seperti para ulama baik salaf ( terdahulu ) maupun khalaf ( belakangan ) selama ilmu dan kitab-kitab mereka masih dikaji dan diamalkan maka pahala mereka akan terus mengalir meskipun mereka telah tiada.
Oleh karena itu islam sangat menganjurkan agar ummatnya senantiasa mempelajari ilmu dan mengajarkanya. Rasulullah SAW bersabda : خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلّمَ القُرْآنَ وَ عَلّمَهُ ( الحديث )
Artinya :“sebaik baik kalian adalah yang mempelajari Al Quran dan yang mengajarkanya”
Ilmu adalah syarat diterimanya ibadah
Allah berfirman dalam QS. Muhammad: 19
“ Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”
Didalam ayat ini Allah memulai dengan perintah untuk berilmu terlebih dahulu sebelum beramal sehingga Imam Bukhori menulis bab khusus yaitu al-ilmu qoblal qouli wal ‘amali , ilmu itu sebelum ucapan dan amal perbuatan. Sehingga orang yang beramal tanpa dilandasi dengan ilmu hanya akan menjadikan amal tersebut sia-sia.
Memudahkan jalan menuju jannah
Dengan ilmu seorang hamba akan dimudahkan jalan jalan menuju jannah, Rasululah SAW bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلى الْجَنَّةِ
“barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju jannah “.
- anak sholih yang mendo’akan kedua orang tuanya
anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya, baik buruknya anak adalah tanggung jawab kedua orang tuanya, anak bisa menjadi investasi akhirat dan penyejuk pandangan didunia manakala orang tuanya sukses didalam mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, sebaliknya anak bisa menjadi batu sandungan kelak di akhirat dan kesusahan didunia manakala orang tuanya melalaikan tugasnya didalam mendidik anak anaknya sehingga mereka menjadi anak anak yang durhaka kepada orang tuanya, berbuat kerusakan dan berbagai perbuatan maksiat lainya.
Hak anak yang harus diberikan oleh orang tuanya yaitu :
- memilihkan calon ibu yang shalihah yaitu ketika mencari istri atau calon ibu bagi anak anaknya hendaklah mempertimbangkan aspek diniyahnya.
- memberikan nama yang baik karena nama adalah do’a, maka hendaknya orang tua menamai anak anaknya dengan nama nama yang baik, jangan asal asalan memberi nama.
- mengajarinya membaca Al-Qur’an , yaitu dengan membiasakan anak sejak dini untuk gemar membaca Al-Qur’an dan menghafalkanya, serta mendidiknya menjadi pribadi pribadi yang Qur’ani
maka menjadi tugas orang tua untuk memilihkan sekolah yang islami bagi putra putrinya agar kelak mereka menjadi anak anak shalih shalihah yang senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, jangan sampai gara gara salah didalam menyekolahkan anak ke sekolahan yang tidak memperhatikan urusan agamanya menjadikan anak tersebut menjadi anak yang tidak faham terhadap diennya , durhaka kepada orang tuanya, dan menjadi pribadi yang jauh dari ajaran islam. Kalau kita saksikan fenomena para siswa siswi disekolahan yang tidak perduli terhadap urusan agama, kita sangat prihatin melihat tingkah polah mereka mulai dari suka bolos, merokok, pergaulan bebas, mabuk mabukan, hobi tawuran, gemar berkata kotor dan lain lainnya. Sebagai contoh fenomena corat coret seragam dan rambut ketika merayakan kelulusan, ada diantara siswi yang tega melepas jilbabnya dan merobek roknya sehingga terlihat auratnya sambil berpawai bersama teman temanya, na’udzubillahi min dzalik. Apakah kita rela mengorbankan anak anak kita kedalam akhlak yang buruk semacam itu? Tentunya sebagai orang tua yang baik tidak akan rela anaknya berbuat semacam itu.
Maka supaya anak anak kita bisa menjadi tabungan dan investasi amal kita diakhirat nanti pilihkanlah lembaga pendidikan yang benar benar islami untuk anak anak kita agar mereka kelak menjadi generasi yang shalih dan shalihah. ( fq )
Kamis, 15 April 2010
hvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnlnhvbghblhb k;b kj; kbhb hjbjhb jhbjhb h hb hb hb hbhbhbgj gjb hb hbjhvbhjvhjvhvjvvlhh h;kbnjbjbjbjbjnjlnln
Senin, 12 April 2010
Jagalah Hati Jangan Kau Nodai
Imam Al-Ghazali mengatakan, mereka yang selamat dalam Ramadhan jika berada dalam kategori khususul khusus atau al-Khawwas. Mereka menjaga telinga, mata, lisan, tangan dari maksiat
Hidayatullah.com--Jika ada yang bertanya, sudah berapa kali anda berpuasa Ramadhan? Tentu kita bisa menjawabnya dengan mudah. Tapi jika pertanyaan itu diteruskan, apa hasil puasa anda selama itu? Terhadap pertanyaan tersebut, biasanya kita sulit menjawab. Mengapa? Dibandingkan dengan hikmah dan fadhilah yang ditawarkan Ramadhan, rasanya terlalu sedikit yang telah kita capai.
Revolusi kejiwaan yang semestinya terjadi setelah kita berpuasa sebulan penuh hingga puluhan kali Ramadhan masih juga belum kunjung tercapai. Yang terjadi justru hanyalah rutinitas tahunan: siang hari menahan diri dari lapar dan dahaga, selebihnya tidak terjadi apa-apa.
Imam Al-Ghazali mengelompokkan kaum Muslimin yang berpuasa dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang dikelompokkan sebagai orang awam. Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Sesuai dengan namanya, sebagian besar kaum Muslimin berada dalam kelompok ini.
Kedua adalah mereka yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami isteri di siang hari, mereka juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia. Mereka menjaga lisannya dari berkata bohong, kotor, kasar, dan segala perkataan yang bisa menyakiti hati orang. Mereka juga menjaga lisannya dari perbuatan tercela lainnya, seperti ghibah, mengadu domba, dan memfitnah. Mereka hanya berkata yang baik dan benar atau diam saja.
Dikisahkan dalam kitab Ihya-ulumuddin, bahwa pada masa Rasulullah saw ada dua orang wanita. Pada suatu hari di bulan Ramadhan, saat mereka sedang berpuasa, rasa lapar dan haus tak tertahankan lagi hingga hamper-hampir saja menyebabkan keduanya pingsan. Maka diutuslah seorang pria untuk menghadap Rasulullah saw untuk menanyakan, apakah mereka boleh membatalkan puasanya. Rasulullah saw tidak langsung memberi jawaban, akan tetapi beliau justru mengirimkan sebuah mangkok, kemudian berpesan kepada utusan tersebut: “ Muntahkan
ke dalam mangkok ini apa yang telah dimakan”.
Peristiwa ini nampaknya mengundang perhatian banyak orang. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu sangat terkesima melihat salah seorang wanita itu memuntahkan darah segar dan daging lunak sebanyak setengah mangkok, wanita satunya lagi pun memuntahkan hal yang sama hingga mangkok tersebut menjadi penuh. Setelah itu Rasulullah bersabda: “Dua perempuan tadi telah merasakan apa yang oleh Allah dihalalkan bagi mereka dan telah membatalkan puasa mereka dengan melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Mereka telah duduk bersama dan bergunjing. Darah dan daging segar yang mereka muntahkan adalah darah segar orang yang telah mereka gunjingkan”.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: “Ada lima perkara yang membatalkan puasa, yaitu: berbohong, bergunjing, memfitnah, mengucapkan sumpah palsu, dan memandang dengan nafsu”.
Kelompok kedua ini juga bisa menjaga mata dari melihat segala sesuatu yang dilarang syari’at. Matanya tidak dibiarkan liar memandang aurat perempuan atau lelaki yang tidak halal, baik secara langsung, maupun melalui tontonan televisi, gambar dan foto. Mereka sadar bahwa mata adalah panahnya setan, jika dibiarkan liar maka mata itu bisa membidik apa saja dan nafsu manusia cenderung membenarkan dan mengikutinya. Tentang bahaya pandangan ini, Rasulullah mengingatkan: “Pengaruh ketajaman mata adalah hak. Bila ada sesuatu yang mendahului taqdir maka itu adalah karena pengaruh ketajaman mata”. [HR. Muslim]
Tak kalah pentingnya adalah menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang menjurus kepada maksiat. Mereka yang termasuk kelompok ini tidak akan asyik duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam perbincangan yang sia-sia. Termasuk perbuatan sia-sia adalah mendengar lagu-lagu yang syairnya tidak mengantarkannya pada mengenal kebesaran Allah. Mereka juga meninggalkan percakapan penyiar dan penyair yang menghambur-hamburkan kata tanpa makna.
Mereka segera meninggalkan orang yang sedang ghibah, apalagi memfitnah, karena mereka sadar bahwa orang yang mengghibah dengan orang yang mendengar ghibah itu sama nilai dosanya. Maka alternatifnya hanya dua, yaitu mengingatkan atau meninggalkan majelis tersebut.
Dalam hal ini Allah berfirman; “Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka”. [QS. An-Nisaa: 140]
Di bulan Ramadhan, kelompok ini juga menutup telinganya rapat-rapat dari segala suara yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengingat Allah. Sebaliknya, mereka membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar ayat-ayat suci al-Qur’an, mendengar majelis ta’lim, mendengar kalimat-kalimat thayibah, dan mendengar nasehat-nasehat agama. Ketekunan dan kesibukan menyimak kebaikan dengan sendirinya akan mengurangi kecendrungan mendengar sesuatu yang sia-sia, apalagi yang merusak nilai ibadahnya.
Selebihnya, mereka juga menjaga tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuhnya dari segala yang dilarang syari’ah. Mereka menjaga tangannya dari memegang sesuatu yang tak halal. Mereka juga mengendalikan kakinya dari melangkah ke tempat yang haram. Demikian juga terhadap perutnya, mereka menjaga agar perutnya hanya diisi makanan yang halal saja. Baik ketika sahur maupun pada saat berbuka puasa.
Dalam pandangan Islam, makanan haram itu sama dengan racun, sedangkan makanan halal itu adalah obat, jika diminum sesuai dengan porsi dan dosis yang tepat. Tapi jika jika dikonsumsi secara berlebihan, maka makanan itu bisa berubah menjdai racun yang sangat membahayakan kesehatan tubuh. Itulah sebabnya, orang-orang yang berpuasa secara benar terlatih untuk hanya memakan makanan dan minuman yang halal saja. Itupun dalam takaran dan dosis yang normal, tidak berlebih-lebihan. Mereka tidak akan berbuka puasa dengan cara makan dan minum berlebih-lebihan.
Jika kaum Muslimin berpuasa seperti puasanya kelompok yang kedua ini, sungguh akan terjadi perubahan social yang luar biasa. Antara sebelum dan sesudah Ramadhan pasti ada perubahan sikap, perilaku, dan tindakan yang khas. Jika perubahan itu dilakukan oleh sebuah masyarakat yang hidup dalam sebuah Negara yang bernama Indonesia, maka revolusi moral pasti terjadi secara nyata.
Tak perlu dibentuk Komisi Anti Korupsi, karena sudah tidak ada lagi pelakunya.
Sayang, untuk target minimal tersebut kita masih belum bisa melakukannya. Akibatnya, antara sebelum dan sesudah puasa tidak terjadi apa-apa. Yang sebelum Ramadhan merokok, sesudah puasa kembali merokok. Bila sebelum puasa korupsi, sesudah puasa, praktek itu diulangi kembali. Padahal jika target menjadi kelompok kedua ini tercapai, separoh permasalahan Negara dan bangsa bisa diatasi. Apalagi jika kita bisa mencapai target yang lebih tinggi, menjadi kelompok ketiga.
Adapun kelompok ketiga, menurut Al-Ghazali adalah mereka yang berada dalam kategori khususul khusus atau al-Khawwas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Mereka mengisi rongga hatinya hanya untuk mengingat Allah semata-mata. Mereka tidak menyisakan ruang sedikitpun dalam hatinya untuk urusan duniawi. Mereka benar-benar mengontrol hatinya dari segala detakan niat yang menjurus pada urusan duniawi
Hidayatullah.com--Jika ada yang bertanya, sudah berapa kali anda berpuasa Ramadhan? Tentu kita bisa menjawabnya dengan mudah. Tapi jika pertanyaan itu diteruskan, apa hasil puasa anda selama itu? Terhadap pertanyaan tersebut, biasanya kita sulit menjawab. Mengapa? Dibandingkan dengan hikmah dan fadhilah yang ditawarkan Ramadhan, rasanya terlalu sedikit yang telah kita capai.
Revolusi kejiwaan yang semestinya terjadi setelah kita berpuasa sebulan penuh hingga puluhan kali Ramadhan masih juga belum kunjung tercapai. Yang terjadi justru hanyalah rutinitas tahunan: siang hari menahan diri dari lapar dan dahaga, selebihnya tidak terjadi apa-apa.
Imam Al-Ghazali mengelompokkan kaum Muslimin yang berpuasa dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang dikelompokkan sebagai orang awam. Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Sesuai dengan namanya, sebagian besar kaum Muslimin berada dalam kelompok ini.
Kedua adalah mereka yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami isteri di siang hari, mereka juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia. Mereka menjaga lisannya dari berkata bohong, kotor, kasar, dan segala perkataan yang bisa menyakiti hati orang. Mereka juga menjaga lisannya dari perbuatan tercela lainnya, seperti ghibah, mengadu domba, dan memfitnah. Mereka hanya berkata yang baik dan benar atau diam saja.
Dikisahkan dalam kitab Ihya-ulumuddin, bahwa pada masa Rasulullah saw ada dua orang wanita. Pada suatu hari di bulan Ramadhan, saat mereka sedang berpuasa, rasa lapar dan haus tak tertahankan lagi hingga hamper-hampir saja menyebabkan keduanya pingsan. Maka diutuslah seorang pria untuk menghadap Rasulullah saw untuk menanyakan, apakah mereka boleh membatalkan puasanya. Rasulullah saw tidak langsung memberi jawaban, akan tetapi beliau justru mengirimkan sebuah mangkok, kemudian berpesan kepada utusan tersebut: “ Muntahkan
ke dalam mangkok ini apa yang telah dimakan”.
Peristiwa ini nampaknya mengundang perhatian banyak orang. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu sangat terkesima melihat salah seorang wanita itu memuntahkan darah segar dan daging lunak sebanyak setengah mangkok, wanita satunya lagi pun memuntahkan hal yang sama hingga mangkok tersebut menjadi penuh. Setelah itu Rasulullah bersabda: “Dua perempuan tadi telah merasakan apa yang oleh Allah dihalalkan bagi mereka dan telah membatalkan puasa mereka dengan melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Mereka telah duduk bersama dan bergunjing. Darah dan daging segar yang mereka muntahkan adalah darah segar orang yang telah mereka gunjingkan”.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: “Ada lima perkara yang membatalkan puasa, yaitu: berbohong, bergunjing, memfitnah, mengucapkan sumpah palsu, dan memandang dengan nafsu”.
Kelompok kedua ini juga bisa menjaga mata dari melihat segala sesuatu yang dilarang syari’at. Matanya tidak dibiarkan liar memandang aurat perempuan atau lelaki yang tidak halal, baik secara langsung, maupun melalui tontonan televisi, gambar dan foto. Mereka sadar bahwa mata adalah panahnya setan, jika dibiarkan liar maka mata itu bisa membidik apa saja dan nafsu manusia cenderung membenarkan dan mengikutinya. Tentang bahaya pandangan ini, Rasulullah mengingatkan: “Pengaruh ketajaman mata adalah hak. Bila ada sesuatu yang mendahului taqdir maka itu adalah karena pengaruh ketajaman mata”. [HR. Muslim]
Tak kalah pentingnya adalah menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang menjurus kepada maksiat. Mereka yang termasuk kelompok ini tidak akan asyik duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam perbincangan yang sia-sia. Termasuk perbuatan sia-sia adalah mendengar lagu-lagu yang syairnya tidak mengantarkannya pada mengenal kebesaran Allah. Mereka juga meninggalkan percakapan penyiar dan penyair yang menghambur-hamburkan kata tanpa makna.
Mereka segera meninggalkan orang yang sedang ghibah, apalagi memfitnah, karena mereka sadar bahwa orang yang mengghibah dengan orang yang mendengar ghibah itu sama nilai dosanya. Maka alternatifnya hanya dua, yaitu mengingatkan atau meninggalkan majelis tersebut.
Dalam hal ini Allah berfirman; “Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka”. [QS. An-Nisaa: 140]
Di bulan Ramadhan, kelompok ini juga menutup telinganya rapat-rapat dari segala suara yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengingat Allah. Sebaliknya, mereka membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar ayat-ayat suci al-Qur’an, mendengar majelis ta’lim, mendengar kalimat-kalimat thayibah, dan mendengar nasehat-nasehat agama. Ketekunan dan kesibukan menyimak kebaikan dengan sendirinya akan mengurangi kecendrungan mendengar sesuatu yang sia-sia, apalagi yang merusak nilai ibadahnya.
Selebihnya, mereka juga menjaga tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuhnya dari segala yang dilarang syari’ah. Mereka menjaga tangannya dari memegang sesuatu yang tak halal. Mereka juga mengendalikan kakinya dari melangkah ke tempat yang haram. Demikian juga terhadap perutnya, mereka menjaga agar perutnya hanya diisi makanan yang halal saja. Baik ketika sahur maupun pada saat berbuka puasa.
Dalam pandangan Islam, makanan haram itu sama dengan racun, sedangkan makanan halal itu adalah obat, jika diminum sesuai dengan porsi dan dosis yang tepat. Tapi jika jika dikonsumsi secara berlebihan, maka makanan itu bisa berubah menjdai racun yang sangat membahayakan kesehatan tubuh. Itulah sebabnya, orang-orang yang berpuasa secara benar terlatih untuk hanya memakan makanan dan minuman yang halal saja. Itupun dalam takaran dan dosis yang normal, tidak berlebih-lebihan. Mereka tidak akan berbuka puasa dengan cara makan dan minum berlebih-lebihan.
Jika kaum Muslimin berpuasa seperti puasanya kelompok yang kedua ini, sungguh akan terjadi perubahan social yang luar biasa. Antara sebelum dan sesudah Ramadhan pasti ada perubahan sikap, perilaku, dan tindakan yang khas. Jika perubahan itu dilakukan oleh sebuah masyarakat yang hidup dalam sebuah Negara yang bernama Indonesia, maka revolusi moral pasti terjadi secara nyata.
Tak perlu dibentuk Komisi Anti Korupsi, karena sudah tidak ada lagi pelakunya.
Sayang, untuk target minimal tersebut kita masih belum bisa melakukannya. Akibatnya, antara sebelum dan sesudah puasa tidak terjadi apa-apa. Yang sebelum Ramadhan merokok, sesudah puasa kembali merokok. Bila sebelum puasa korupsi, sesudah puasa, praktek itu diulangi kembali. Padahal jika target menjadi kelompok kedua ini tercapai, separoh permasalahan Negara dan bangsa bisa diatasi. Apalagi jika kita bisa mencapai target yang lebih tinggi, menjadi kelompok ketiga.
Adapun kelompok ketiga, menurut Al-Ghazali adalah mereka yang berada dalam kategori khususul khusus atau al-Khawwas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Mereka mengisi rongga hatinya hanya untuk mengingat Allah semata-mata. Mereka tidak menyisakan ruang sedikitpun dalam hatinya untuk urusan duniawi. Mereka benar-benar mengontrol hatinya dari segala detakan niat yang menjurus pada urusan duniawi
Langganan:
Postingan (Atom)